Penantian Untuk Sebuah Cinta Yang Sia-sia
Karya : CahYadi Tamam
Ketika aku dihari pertama masuk kelas XI, aku gak pernah
menyangka kalau ternyata aku masuk kelas favorit yaitu kelas IX-E. Awalnya aku sedikit ragu karena sudah
pasti sangat sulit untuk aku bersaing dengan teman-teman ku yang lain untuk
meraih peringkat pertama. Tapi aku tidak menyerah dan aku terus beruasaha.
Di kelas ini pula aku mempunyai
kenangan yang sangat indah dan tidak mungkin aku lupakan. Ketika itu seperti
biasa aku mengikuti pelajaran dan tiba-tiba bapak Wakasek masuk kedalam kelas
ku membawa gadis cantik seperti bidadari yang rupanya dia adalah siswi baru.
Ketika dia memperkenalkan dirinya di
depan kelas, aku sedikit terkejut karena ternyata dia seorang atlit lari yang
sudah banyak menjuarai beberapa lomba. Wah hebat, sudah cantik berbakat pula,
aku jadi kagum.
Pada saat jam istirahat aku
menghampiri gadis itu untuk mengajaknya berkenalan, walau agak sedikit malu.
“Hey, nama ku Cahyadi.” Sapaku.
“Hey juga, aku Ivach.” Jawab gadis
cantik itu sambil tersenyum lembut.
“Kamu tinggal dimana?” Tanya ku sok
akrab.
“Aku tinggal di KONI.” Jawabnya.
“Emang asal mu dari mana?”
“Aku dari Pangarengan.”
“Owh……… (Ternyata jauh ya.)” Ucapku
di dalam hati.
“Kamu sendiri rumahnya dimana?”
“Aku tinggal di jalan Imam Bonjol.
Oh ya, kamu kapan ikut lomba lari lagi?”
“Hari minggu besok di lapangan
Wijaya Kusuma. Kamu nonton ya!!!”
“Oh ya pasti aku nonton.”
Ntah mengapa aku terasa nyaman
ngobrol berdua bareng gadis itu hingga jam istirahat berakhir dan pelajaran
kembali dimulai.
Bel terakhir yang menandakan jam
pelajaran berakhir telah berbunyi, akupun bergegas untuk pulang namun tiba-tiba
Ivach dating menghampiri ku dan mengajak aku untuk pulang bareng. Dengan
senangnya aku menerima tawaran dia, tiba di depan KONI aku menghentikan motorku
dan Ivach pun turun dengan wajah yang sedang tersenyum manis.
“Kenapa kok senyum-senyum?” Tanya
ku.
“Gak apa-apa kok. Makasih ya udah
mau anterin aku” Jawabnya singkat.
“Ya sama-sama. Ya udah aku pulang
ya.” Pamit ku.
“ya, hati-hati.”
Sesampainya
dirumah aku langsung mandi, sholat, makan, dan tidur siang. Malam harinya
setelah belajar, seperti biasa aku membuka buku harian ku untuk
mencorat-coretnya.
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku
bersiap untuk berangkat sekolah, tapi hari ini seperti ada yang berbeda, apa
karena siswi baru itu?
Ntah lah, yang jelas hari-hari ku semakin berwarna karena
dia.
Sesampainya disekolah, aku melihat
Ivach yang sedang duduk melamun sendirian, dengan berani aku menghampirinya.
"Hey... sendiri aja, lagi
ngelamunin siapa, cowokya ya?”
“eh... gak kok, aku gak punya
cowok.”
“Masak sih...”
“Beneran, ngapain aku boong... kamu mungkin
yang punya pacar?”
“Aku jomblo........”
Tidak lama kita ngobrol berdua,
tiba-tiba bel masuk berbunyi. Kami berdua masuk ke kelas untuk mengikuti
pelajaran.
***
Satu minggu berlalu, aku dan Ivach semakin deket. Hari ini
hari minggu, aku tidak lupa kalau hari ini Ivach ikut lomba lari. Akupun
bersiap untuk berangkat ke lapangan Wijaya Kusuma untuk nonton dia tanding.
Sesampainya aku disana, ternyata sudah ramai. Lama aku menunggu hingga giliran
Ivach tanding, do’a ku tidak pernah berhenti untuknya, dan tidak sia-sia, dia
mendapat juara 1 dan tidak lupa aku ngucapin selamat untuknya.
Beberapa hari kemudia kami sudah akan menghadapi Ujian
Nasional. Tak terasa satu tahun kami telah saling kenal dan telah satu tahun
pula aku memendam perasaan ku padanya.
Tak terasa Ujian nasional telah berakhir, hari ini adalah
hari penerimaan ijazah. Hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Dan
dihari ini pula aku berniat ingin menyatakan cinta ku pada Ivach.
“Hey Ivach...” Sapaku.
“Hey...”
“Semoga kita bisa lulus dengan nilai yang memuaskan ya.”
“Amin...”
“Oh ya Vach... aku boleh ngomong sesuatu gak sama kamu?”
Tanyaku.
“Boleh, mau ngomong apa?”
“Sebenernya dari dulu aku suka sama kamu, dari pertama kita
bertemu hati ku langsung gemeteran. Tapi aku baru berani sekarang untuk
ngungkapin ini sama kamu. Kamu mau gak jadi pacarku?”
“Jangan bercanda deh Cahyadi.”
“Aku serius Vach...”
“Maaf Cahyadi, bukannya aku gak mau tapi aku sudah mau
tunangan.”
“Kamu kan baru lulus SMP, kenapa sudah mau tunangan?”
“Ini semua kehendak orang tuaku Cahyadi.”
Semenjak hari itu, kami berdua sudah tidak pernah bertemu
lagi. Tepatnya aku yang menjauh darinya. Mungkin hari itu adalah pertemuan
terakhir bagi kita. Kadang aku merasa sangat menyesal dengan kejadian ini, tapi
semuanya harus ku terima, mungkin ini memang sudah jalan hidupku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar